articles :)

Reality Show Bukan Realita



Sekarang kata reality show bukan lagi kata asing di telinga Anda atau khalayak luas. Ada yang menyukainya, ada pula yang mencibir. Reality show ini merupakan genre acara televisi yang menggambarkan adegan yang seakan-akan benar-benar berlangsung tanpa skenario, dengan pemain yang umumnya khalayak umum biasa, bukan pemeran. Acara dokumenter dan acara seperti berita dan olahraga tidak termasuk didalamnya (id.wikipedia.org).
Banyaknya tulisan, kritikan dan protes atas tayangan berjenis ini, ternyata tidak menggetarkan para produser televisi untuk menghentikan produksinya. Malah acara semacam ini semakin “kejar tayang” dan semakin membuat cerita yang mengada-ada. Mengapa mereka membuat reality show yang bukan realita?
Hal ini terjadi karena membuat reality show yang benar-benar realita penuh dengan resiko, merugikan pihak-pihak tertentu, rawan hukum, hambur budget dan lain-lain. Contohnya Paranoid yang pernah ditayangkan Trans TV. Tayangan ini diberhentikan karena menimbulkan korban seorang ibu hamil yang ikut lari ketakutan ketika melihat hantu bohongan yang dibuat untuk menakut-nakuti orang-orang di halaman parkir Rumah Sakit Pondok Indah. Sang ibu hamil lari sampai terjatuh dalam keadaan telungkup. Sang suami pun menuntut kepada pihak Trans TV yang malah menyalahkan pihak RS Pondok Indah karena tidak aman dalam pelayanannya sehingga sang ibu hamil tersandung batu di parkiran, padahal jelas-jelas ibu hamil itu lari karena ketakutan.
Reality show yang ada beberapa tahun kebelakang hingga yang sekarang masih eksis menarik perhatian penonton itu tidak murni realita. Mungkin saja real, tapi pasti ada sentuhan skenario untuk mendramatisasi cerita. Helmy Yahya, seorang Raja Reality Show Indonesia dalam acara roadshow sekolah broadcast miliknya beberapa bulan lalu di kampus penulis mengatakan, yang namanya reality show pasti ada skenarionya, tidak asli di-shooting begitu saja. Bila asli di-shooting begitu saja lalu disajikan pada penonton, itu namanya film dokumenter bukan reality show, ungkapnya. Tapi yang menjadi perbincangan, sejauhmana sentuhan skenario itu berpengaruh pada tayangan yang disajikan?
Jadi singkat kata, selama genre acaranya reality show, Anda tidak akan menemukan hal yang benar-benar realita. Tapi masih saja ada reality show yang nekat menuliskan bahwa acaranya merupakan realitas dan bukan rekayasa. Atau mencantumkan tulisan, acara itu telah mendapatkan persetujuan untuk ditayangkan. Jelas saja mendapatkan persetujuan, toh yang memerankannya seorang aktor bayaran dan jalan ceritanya sudah diatur dalam sebuah skenario, bukan benar-benar pelaku dan kejadian yang nyata terjadi pada saat itu. Bila semua itu nyata, mana ada orang yang mau aibnya terungkap di depan kamera dan disajikan sebagai sebuah tayangan komersil di depan layar kaca? Mungkin laporan atas kasus pencemaran nama baik akan menumpuk di kepolisian.
Ternyata bukan Indonesia saja yang menayangkan reality show yang bukan realita. Amerika pun menayangkan reality show yang bukan realita atau mendramatisir ceritanya. Hanya saja mereka mengemas lebih baik sehingga tidak terlalu terlihat kepalsuannya. Mungkin Anda pernah menonton atau mendengar sederet acara reality show Amerika, seperti the Bachelorette, Survivor, Fear Factor, atau Pimp My Ride, yang ternyata juga reality show yang direkayasa. Contohnya saja the Bachelorette (acara mencari pasangan) yang kebohongannya diungkap dalam sebuah infotainment bertopik “100 Secrets of Hollywood”.
Lalu bagaimana membedakan tayangan yang mayoritas rekayasa dengan yang tidak? Salah satu cara mudahnya, coba dengarkan kualitas suaranya. Bila kualitas suara orang yang menjadi target (contoh: termehek-mehek atau acara pencarian orang lainnya) sama jelasnya (bahkan tidak ada noise) dengan suara pembawa acara atau pelapor yang memang kita ketahui memakai clip on mic, padahal scene itu diambil di pinggir jalan yang ramai, maka jelas itu rekayasa. Berarti si target juga memakai clip on mic yang sudah dapat di duga bahwa ia pun aktor di balik skenario reality show tersebut. Bandingkan dengan salah satu tayangan tolong menolong di jalan yang kadang-kadang menampilkan dialog antara yang ‘meminta tolong’ dan yang ‘menolak’ atau  yang ‘mau menolong’. Potongan-potongan dialog itu ditampilkan untuk memperjelas percakapan karena yang memakai clip on mic hanya orang yang meminta tolong saja, sehingga suara yang lainnya terdengar sayup-sayup.
Disadari atau tidak, tayangan reality show ini masih banyak menarik perhatian penonton. Beberapa teman yang menyukai tayangan reality show mengungkapkan bahwa mereka menyukai reality show yang mengangkat cerita tentang bagaimana membantu seseorang yang kekurangan, seperti Bedah Rumah dan Minta Tolong, karena dapat menumbuhkan rasa simpati dan empati. Sedangkan mereka yang tidak suka, mengaku bahwa reality show hanya sebuah tayangan pembodohan dan terlalu berlebihan.
Harapan mereka yang juga harapan kita bersama, semoga pihak yang berwenang dalam hal ini, seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dapat lebih selektif memilih tayangan yang bermutu dan berdampak positif bagi penonton untuk disajikan di televisi. Media pun lebih mensortir tayangan mana yang layak disajikan bagi penontonnya bukan hanya memikirkan rating saja, dan penonton pun sebaiknya mempunyai filter dalam dirinya dalam memilih tayangan yang baik dan berguna bagi dirinya sendiri. Be a smart audience!


Penulis :
Gita Aulia
Jurusan Ilmu Komunikasi UNIKOM
Bandung